Rácz Vali

IDI dalam Sorotan Media: Antara Informasi dan Framing

Pendahuluan

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) adalah organisasi profesi yang menaungi para dokter di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, IDI sering menjadi sorotan media, baik dalam konteks kebijakan kesehatan nasional, kasus etik profesi, hingga keterlibatan dalam isu-isu sosial-politik. Dalam sorotan ini, peran media menjadi sangat vital: apakah media menyampaikan informasi secara objektif, atau justru membingkai (framing) IDI sesuai kepentingan tertentu?

Peran Strategis IDI dalam Kesehatan Nasional

Sebagai organisasi profesi, IDI memiliki peran strategis dalam menjaga standar pelayanan kesehatan, mengawasi etika kedokteran, serta menjadi mitra pemerintah dalam menyusun kebijakan kesehatan. Pandangan dan keputusan IDI sering dijadikan rujukan oleh banyak pihak, mulai dari institusi medis hingga masyarakat umum.

Misalnya, saat pandemi COVID-19 melanda, IDI berperan penting dalam memberikan edukasi publik, memberikan masukan kepada pemerintah, serta mengadvokasi perlindungan bagi tenaga kesehatan. Namun, dalam menyuarakan sikapnya, tidak jarang IDI justru mendapat sorotan negatif dari media.

Media dan Kekuasaan Framing

Media memiliki kekuatan besar dalam membentuk opini publik. Melalui teknik framing, media dapat mengarahkan cara pandang masyarakat terhadap suatu peristiwa atau institusi. Framing tidak selalu berarti manipulasi, tetapi lebih kepada penekanan aspek tertentu dari sebuah informasi.

Dalam konteks IDI, framing media bisa terbagi dua:

  1. Framing Positif, seperti ketika IDI diposisikan sebagai garda terdepan dalam penanganan pandemi.
  2. Framing Negatif, seperti saat IDI dikaitkan dengan isu-isu politik atau dianggap menghambat reformasi sistem kesehatan.

Contohnya, dalam pemberitaan tentang pemecatan anggota IDI yang masuk ke ranah politik praktis, beberapa media membingkai IDI sebagai institusi yang otoriter dan tidak demokratis. Padahal, keputusan tersebut bisa saja berakar dari aturan internal dan kode etik profesi yang tidak dijelaskan secara utuh dalam pemberitaan.

Tantangan Objektivitas dalam Jurnalisme Kesehatan

Peliputan isu kesehatan memerlukan pemahaman mendalam, tidak hanya dari sisi medis tetapi juga etika dan kebijakan. Ketika media terlalu cepat menilai atau hanya mengejar sensasi, informasi yang disampaikan bisa bias dan merugikan reputasi lembaga seperti IDI.

Di sisi lain, IDI sendiri juga dituntut untuk responsif terhadap media. Komunikasi publik yang terbuka, transparan, dan tidak terkesan eksklusif akan membantu meminimalkan kesalahpahaman.

Peran Literasi Media di Kalangan Masyarakat

Masyarakat sebagai konsumen informasi perlu dibekali dengan literasi media, yakni kemampuan untuk menganalisis dan mengevaluasi isi berita. Tanpa literasi yang memadai, masyarakat mudah terprovokasi oleh judul bombastis atau narasi yang tidak berimbang.

Literasi ini juga penting untuk menjaga kepercayaan terhadap institusi profesional seperti IDI. Masyarakat harus mampu membedakan antara opini media dan fakta kebijakan.

Penutup: Membangun Simbiosis yang Sehat

IDI dan media sesungguhnya memiliki tujuan yang sama: mencerdaskan masyarakat. Oleh karena itu, perlu dibangun simbiosis yang sehat antara keduanya. Media harus menjalankan fungsi kontrol sosial tanpa mengorbankan etika jurnalistik, sementara IDI harus membangun komunikasi yang lebih adaptif, terbuka, dan proaktif.

Dalam dunia informasi yang serba cepat dan kompetitif ini, menjaga keseimbangan antara informasi dan framing menjadi tantangan tersendiri. Namun jika dijalankan dengan niat baik dan komitmen terhadap kebenaran, IDI dan media bisa saling memperkuat demi kebaikan publik.